![]() |
| Asep Agustian SH., MH. |
KARAWANG – Proyek pembangunan sabuk pantai di Kecamatan Pakisjaya dan jetty di Muara Sedari kembali menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan keterlibatan tenaga ahli fiktif dalam pelaksanaannya. Kedua proyek tersebut merupakan program Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR Kabupaten Karawang.
Proyek Jetty Muara Sedari dikerjakan oleh CV Cakra Buana Utama dengan nilai kontrak Rp2,4 miliar. Jetty tersebut memiliki panjang 160 meter, tinggi konstruksi 3,5 meter, dan waktu pelaksanaan 85 hari kalender.
Adapun proyek sabuk pantai Pakisjaya dikerjakan CV Mazel Arnawama Indonesia senilai Rp903,48 juta, dengan panjang sekitar 80 meter, tinggi 2,5 meter, lebar atas 2 meter, lebar bawah 9 meter, serta waktu pelaksanaan 90 hari kalender.
Praktisi Hukum dan Pengamat Kebijakan, Asep Agustian SH., MH., kembali menyoroti kedua proyek tersebut. Ia mengaku sebelumnya telah memprediksi bahwa pengerjaan proyek tidak akan selesai tepat waktu karena diduga kontraktor hanya “meminjam bendera” perusahaan.
“Saya menyimpulkan proyek ini dikerjakan tidak profesional. Kalau perusahaan itu benar, harusnya ada data konkret mengenai konsultan dan tenaga ahli, bukan digantikan mandor yang mengaku wartawan ketika dikonfirmasi,” kata Asep Agustian, Senin (8/12/2025).
Ia juga menilai pekerjaan Bidang SDA PUPR Karawang kerap menjadi sorotan karena hasil yang tidak memuaskan.
“Bidang SDA ini memang selalu jadi sorotan media. Tidak ada yang membanggakan. Saya minta Pak Bupati mutasi Kabid SDA. Katanya sudah ajukan pengunduran diri, tapi masih dipertahankan,” ujarnya.
Asep juga mempertanyakan progres kedua proyek yang disebut baru mencapai sekitar 30% pada akhir November 2025.
“Kalau dipaksakan selesai akhir Desember, kualitasnya pasti tidak bagus. Saya minta teman-teman wartawan terus pantau,” tegasnya.
Askun turut menyinggung pernyataan mandor Jetty Muara Sedari yang menyebut banjir rob sebagai penyebab keterlambatan. Ia menilai alasan tersebut tidak relevan bila proyek memiliki konsultan dan tenaga ahli profesional.
“Force majeure memang bisa jadi alasan. Tapi kalau nanti konsultan dan tenaga ahlinya terbukti fiktif, mau bagaimana?” katanya.
Asep juga mengkritik sikap Aparat Penegak Hukum (APH) yang disebut sering menunggu proyek selesai sebelum melakukan penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan anggaran.
“Mereka selalu beralasan harus menunggu proyek selesai dulu. Padahal apa salahnya menegur sejak awal dan melakukan pembinaan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi,” tuturnya.
Asep berharap APH memberikan pengawasan lebih awal demi menjaga kualitas pembangunan dan mencegah kerugian bagi masyarakat. (*)
