![]() |
| Seorang calon jamaah haji asal Karawang, Puga Hilal Bayhaqie, menggelar aksi unjuk rasa seorang diri di depan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Karawang, Jalan Husni Hamid, Kamis (18/12/2025). |
KARAWANG — Dugaan buruknya tata kelola pelayanan haji di Kabupaten Karawang menuai sorotan. Seorang calon jamaah haji asal Karawang, Puga Hilal Bayhaqie, menggelar aksi unjuk rasa seorang diri di depan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Karawang, Jalan Husni Hamid, Kamis (18/12/2025).
Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk kekecewaan Puga terhadap pelayanan administrasi haji, khususnya terkait pengajuan Pendampingan Haji untuk orang tuanya yang telah diajukan sejak 22 Juli 2025, namun dinyatakan hilang saat kebijakan pendampingan resmi dibuka awal Desember 2025.
Puga mengaku diminta untuk mengajukan ulang berkas tanpa adanya kejelasan terkait dokumen yang sebelumnya diserahkan.
“Saya diminta mengajukan ulang. Ketika saya tanyakan dokumen lama ke mana, jawabannya tidak ada. Lebih parah lagi, setiap pengajuan dokumen calon jamaah haji tidak pernah diberikan tanda terima,” ujar Puga dalam orasinya.
Menurutnya, kondisi tersebut menunjukkan lemahnya administrasi dan membuka ruang dugaan ketidaktertiban sistem pelayanan di internal penyelenggara haji.
Selain persoalan pendampingan, Puga juga sempat mempertanyakan pengurusan haji pengganti atas nama ayahnya yang telah meninggal dunia. Namun, beberapa jam sebelum aksi berlangsung, ia menerima informasi bahwa pengajuan tersebut baru bisa diproses.
“Entah karena mau didemo atau memang sistemnya baru berjalan sekarang,” katanya.
Dalam aksi tersebut, Puga juga mengungkap adanya keluhan sejumlah calon jamaah haji terkait biaya tambahan yang dibebankan oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).
Ia menyebut, selisih biaya antara jamaah KBIH dan non-KBIH dilaporkan mencapai Rp5 juta hingga Rp10 juta per orang, melebihi ketentuan pemerintah yang membatasi biaya tambahan maksimal Rp3,5 juta.
“Jika melebihi batas tersebut, maka berpotensi masuk kategori pungutan liar,” tegas Puga.
Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum asal Karawang, H. Yulianto Bakhtiar, SH, menegaskan bahwa pungutan di luar ketentuan resmi memiliki konsekuensi hukum.
“Pemerintah sudah mengatur, biaya tambahan KBIH hanya untuk manasik di tanah air. Tidak ada biaya oleh-oleh, ziarah tambahan, atau seragam yang berlebihan. Jika dipaksakan, itu pelanggaran,” ujarnya.
Ia juga menyesalkan adanya alasan penggunaan dana tambahan untuk pembangunan pesantren atau masjid.
“Kalau niatnya baik, jangan dengan cara menyesatkan jamaah. Pungutan tetap pungutan,” tegas Yulianto
Yulianto mengapresiasi aksi tunggal yang dilakukan Puga sebagai bentuk kontrol sosial terhadap pelayanan publik, sekaligus membuka persoalan klasik dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Ia mendorong calon jamaah haji yang merasa dirugikan untuk melapor secara resmi agar KBIH yang terbukti melanggar dapat dikenakan sanksi hingga pencabutan izin operasional.
“Kalau tidak dilaporkan, praktik seperti ini akan terus berulang,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komite KBIH Kementerian Agama Kabupaten Karawang, H. Kholis, menegaskan bahwa biaya KBIH sebesar Rp3,5 juta telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dari Kementerian Agama.
“Jika ada biaya melebihi Rp3,5 juta, itu harus berdasarkan kesepakatan calon jamaah haji, misalnya untuk pembuatan seragam tambahan atau perlengkapan lain yang memang diusulkan oleh jamaah sendiri,” jelasnya saat beraudiensi dengan Puga Hilal Bayhaqie.
Aksi tunggal tersebut menjadi pengingat penting akan perlunya transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan yang manusiawi dalam penyelenggaraan ibadah haji, sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat. (*)
