![]() |
Ketua Aliansi Relawan Karawang (Areka), Elyasa Budianto. |
METROPLUS.ID - KARAWANG | Alih-alih memperbaiki,
proyek pemasangan paving blok di Jalan Tuparev justru menciptakan sumber
ketakutan baru bagi masyarakat. Jalan yang seharusnya menjadi akses aman dan
nyaman, kini berubah menjadi lorong debu dan pasir yang setiap hari mengancam
keselamatan pengguna jalan.
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah
pengendara motor terjatuh akibat licinnya pasir sisa material proyek yang
berserakan di sepanjang ruas jalan. Di siang hari, angin membawa debu tebal ke
udara, membentuk kabut tipis yang menyusup ke mata, ke paru-paru, dan ke dalam
keluhan masyarakat yang mulai kehilangan kesabaran.
“Kondisi seperti ini jelas sangat
berbahaya. Selain mengancam keselamatan, debu yang beterbangan juga bisa
mengganggu pernapasan,” keluh Yana (50), seorang warga yang saban hari
melintasi jalan tersebut.
Di balik proyek yang disebut-sebut
bagian dari perbaikan infrastruktur ini, publik mulai bertanya: untuk siapa
sebenarnya proyek ini dijalankan? Apalagi proyek ini menggunakan anggaran dari
dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT JSP, yang semestinya menyasar
kebutuhan mendesak warga sekitar perusahaan.
Kritik paling tajam datang dari Ketua
Aliansi Relawan Karawang (Areka), Elyasa Budianto, yang menilai proyek tersebut
sebagai bentuk kebijakan tak tepat sasaran.
“Ini proyek ugal-ugalan. Jalan yang
dibongkar bukanlah prioritas utama. Sekarang, akibatnya warga terganggu,
terpapar debu, bahkan celaka,” ujarnya lantang saat diwawancarai, Jumat
(16/5/2025).
Bagi Elyasa, persoalan ini bukan
hanya tentang jalan rusak atau debu di udara. Ini tentang bagaimana kebijakan
publik bisa menyentuh atau justru mencederai kepentingan rakyat. Ia menilai
penggunaan dana CSR di kawasan seperti Tuparev yang relatif sudah berkembang, sebagai
keputusan yang salah arah.
“Daerah seperti Cilamaya, yang dekat
dengan PT JSP dan masih kekurangan infrastruktur dasar, jauh lebih layak
menerima alokasi CSR. Tapi justru dana itu digunakan untuk proyek yang tak
urgen dan akhirnya malah membahayakan,” tegasnya.
“Evaluasi segera proyek ini,
bersihkan jalan dari sisa material berbahaya, dan pastikan pelaksanaan proyek
ke depan tak lagi mengabaikan aspek keselamatan dan urgensi,” tegasnya.
Kini, Jalan Tuparev berdiri sebagai simbol
ironi kebijakan publik, tempat di mana proyek “perbaikan” berubah menjadi
sumber ketakutan. Di tengah lalu-lalang kendaraan dan debu yang tak kunjung
hilang, satu pertanyaan terus bergema di benak warga: sampai kapan jalan ini
akan menjadi ancaman yang dibiarkan?
Pewarta: Irfan