METROPLUS.ID | Di era keterbukaan informasi, transparansi menjadi fondasi utama dalam pemerintahan yang akuntabel. Wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap kebijakan, terutama yang berkaitan dengan penggunaan anggaran negara, benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi publik sebagai bentuk pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Sebagai pilar demokrasi, wartawan dan LSM bertugas mengawal penggunaan dana publik seperti Dana Desa dan APBD agar tepat sasaran. Jika akses informasi terhambat, mereka berhak menempuh mekanisme hukum melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) atau mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi. Keterbukaan ini menjadi alat penting dalam mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Namun, dalam perjuangan untuk keterbukaan, muncul pernyataan kontroversial dari Menteri Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) yang menyebut adanya keresahan kepala desa akibat ulah oknum LSM dan wartawan yang tidak bertanggung jawab.
Pernyataan ini menuai reaksi keras dari insan pers dan aktivis LSM. Pejabat publik seharusnya lebih bijak dalam menyampaikan pendapat di ruang terbuka agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dapat melemahkan peran kontrol sosial.
Tidak dapat dipungkiri, ada oknum yang menyalahgunakan profesinya demi kepentingan pribadi. Namun, segala bentuk pemerasan atau intimidasi harus diselesaikan melalui jalur hukum, bukan dijadikan alasan untuk membatasi transparansi. Jika ada dugaan penyimpangan, masyarakat harus berani bertindak sesuai dengan prosedur hukum, tanpa takut intimidasi atau kriminalisasi.
Kasus dugaan pungutan liar (pungli) dalam pengelolaan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di lingkungan sekolah baru-baru ini menjadi contoh nyata bahwa kritik adalah bagian dari upaya perbaikan.
Sayangnya, respons yang muncul dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Karawang justru menunjukkan kepanikan. Rencana mereka untuk melakukan aksi demonstrasi terhadap kritik yang disampaikan content creator Bro Ron dinilai tidak elegan bagi organisasi yang menaungi para pendidik.
Seharusnya, PGRI lebih bijak dalam menyikapi kritik. Bukan dengan menunjukkan reaksi emosional seperti demonstrasi, tetapi dengan duduk bersama dan mencari solusi yang lebih konstruktif. Setiap kritik seharusnya dijadikan bahan introspeksi, bukan dianggap sebagai ancaman.
Pada akhirnya, transparansi bukan sekadar tuntutan, tetapi kewajiban. Wartawan dan LSM harus terus menjalankan perannya dalam mengawal kebijakan agar tetap berpihak kepada kepentingan rakyat. Jika ada penyimpangan, upaya korektif harus dilakukan dengan berpegang pada hukum dan etika yang benar.
Jangan ragu untuk mengawal kebijakan publik. Jika dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai hukum, perjuangan untuk membela kepentingan masyarakat harus terus berjalan.