METROPLUS.ID – KARAWANG | Kemajuan teknologi dan internet telah mengubah cara manusia mendapatkan dan berbagi informasi. Melalui media sosial, platform berita online, dan aplikasi pesan instan, informasi kini menyebar dengan sangat cepat. Namun, kemudahan ini juga memunculkan ancaman besar: maraknya hoaks, misinformasi, dan disinformasi.
Indonesia, dengan populasi pengguna
internet yang besar, menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap
penyebaran informasi palsu. Menurut penelitian MIT tahun 2018, hoaks di media
sosial menyebar hingga enam kali lebih cepat dibandingkan berita faktual,
karena sifatnya yang sering mengejutkan dan menarik perhatian.
Generasi Z, yang tumbuh bersama
teknologi dan dikenal sebagai digital native, justru menjadi kelompok yang
paling rentan terhadap hoaks. Di lingkungan kampus, Gen Z kerap menjadi agen
penyebar informasi palsu, baik karena kurangnya literasi digital maupun karena
sifat Fear of Missing Out (FOMO). FOMO memotivasi mereka untuk selalu terhubung
dengan tren terkini, bahkan tanpa memverifikasi kebenaran informasi yang mereka
bagikan.
Ahma Faisol, seorang pakar literasi
digital, menyoroti bahwa mahasiswa memiliki potensi besar sebagai agen
perubahan dalam melawan hoaks. Dalam Workshop dan Pelatihan Kelas Cek Fakta di
Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, pada 11
Desember 2024, Faisol menegaskan bahwa kampus harus menjadi benteng melawan
derasnya arus hoaks dan ujaran kebencian.
“Kampus dan mahasiswa dapat menjadi
trendsetter generasi anti-hoaks. Literasi digital harus ditanamkan agar mereka
tidak hanya memahami teknologi, tetapi juga mampu memverifikasi informasi
secara kritis,” ujar Faisol.
Faisol juga menyoroti bahwa algoritma
media sosial dan ketidakpercayaan terhadap sumber berita resmi turut
memperparah kerentanan Gen Z terhadap hoaks. “Skeptisisme terhadap otoritas
resmi sering kali membuat Gen Z lebih percaya pada informasi yang tidak valid,”
tambahnya.
Melihat urgensi ini, Medialink
bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) meluncurkan
program peningkatan literasi digital di kampus-kampus seluruh Indonesia. Leli
Qomarulaeli, Program Manajer Medialink, menjelaskan bahwa program ini bertujuan
melatih mahasiswa untuk memfilter informasi dan menjadi agen anti-hoaks yang
aktif.
“Kami telah mengadakan pelatihan
literasi digital di kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
dan sekarang di Banten. Selanjutnya, kami akan menyasar kampus di luar Jawa,”
ujar Leli.
Pelatihan ini diharapkan tidak hanya
meningkatkan kemampuan teknis mahasiswa, tetapi juga membangun kesadaran kritis
mereka dalam menggunakan media sosial. Dengan kolaborasi berbagai pihak, kampus
diharapkan menjadi pusat pembentukan generasi muda yang bijak, kritis, dan
bebas dari jebakan informasi palsu.
Hoaks mungkin menyebar dengan cepat,
tetapi literasi digital yang kuat akan menjadi benteng kokoh untuk melawannya. (*)