Penulis: Dr. Firman T. Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum, Dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Ketua Umum HLKI Jabar Banten DKI Jkt.
Metroplus.id | GELOMBANG kritik dari kalangan pekerja, pengusaha, hingga partai politik tidak menyurutkan pemerintah untuk membatalkan atau menunda program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (31/5/2024) lalu menyatakan, pemerintah masih punya waktu hingga 2027 untuk mematangkan implementasi kebijakan tersebut secara proporsional sambil mendengarkan aspirasi publik dan dunia usaha.
Dengan kata lain Moeldoko menegaskan bahwa Tapera akan dilanjutkan dan membantah anggapan yang menyebut program Tapera ditujukan untuk mendanai program makan gratis dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Diberlakukannya program Tapera yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang juga merupakan politik hukum perlindungan konsumen menyebutkan, besaran simpanan Tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah dikumpulkan sebagai tabungan untuk perumahan. Sebanyak 2,5 persen ditanggung pekerja, sedangkan sisanya ditanggung pemberi kerja. Sedangkan pekerja termasuk konsumen pemakai jasa Tapera untuk membayar iuran/tabungan perumahan.
Kebijakan yang hampir berbarengan yang dinilai tidak pro dan memberatkan rakyat sebagai konsumen adalah soal kenaikan uang kuliah tahunan (UKT). Rencana kenaikan UKT dinilai sangat memberatkan di tengah kesulitan ekonomi.
Contoh lain politik hukum perlindungan konsumen yang membebani masyarakat atau konsumen adalah masalah harga beras yang sudah naik sejak 1 Agustus 2023. Kemudian masalah minyak goreng yang terjadi sejak November 2019, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, selain itu harga sejumlah komoditas utama pangan mengalami kenaikan, dll.
Masyarakat heran atas berbagai kebijakan pemerintah akhir akhir ini khususnya terkait politik hukum perlindungan konsumen yang dinilai tidak masuk akal dan tidak pro rakyat. Padahal, menurut konstitusi rakyat juga memiliki hak untuk dilindungi dan disejahterakan.
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Namun kebijakanĀ² yang diterbitkan pemerintah saat ini mengabaikan beban masyarakat (pekerja) sebagai konsumen. Sementara itu pasca-pandemi Covid-19, banyak pabrik melakukan PHK. Terkait hal ini, kepedulian Pemerintah untuk mensejahterakan rakyat patut dipertanyakan.
Pemerintah telah diberi amanat oleh rakyat mestinya menjalankan konstitusi. Tugas Pemerintah menurut Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea Keempat diantaranya untuk *melindungi* segenap bangsa Indonesia, memajukan *kesejahteraan* umum dan *mencerdaskan* kehidupan bangsa.
Rencana pemerintah menggulirkan program Tapera bagi seluruh pekerja jelas telah melanggar konstitusi, hukum dan peraturan perundangĀ²an. Setidaknya ada empat hukum yang dilanggar, yaitu hukum perdata, hukum perlindungan konsumen, hukum pidana dan hukum administrasi. Dan melanggar 9 undangĀ² yaitu UU Perlindungan Konsumen, UU Administrasi Pemerintahan, UU PTUN, UU Kesejahteraan Sosial, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman, UU BPJS, UU Ketenagakerjaan dan UU Perumahan serta PP tentang Standar Pelayanan Minimal.
Secara privat, peraturan lain yang dilanggar akibat kebijakan Tapera ini yaitu KUHPerdata Pasal 1320, 1337, 1338 (3), 1339, 1365. Dari aspek hukum perdata, para pekerja sebagai konsumen dengan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP TAPERA) memiliki hubungan hukum dalam bentuk perikatan. Ketentuan Pasal 1233 KUHPdt menyebutkan sumber perikatan dapat berbentuk undang-undang atau perjanjian.
Perikatan yang bersumber undang-undang tentunya undangĀ² nya selain harus memenuhi unsur ketertiban juga harus memenuhi *keadilan* dan *kemanfaatan* serta *itikad baik* (Psl. 1338 : 3). Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1320 KUPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat, yaitu : 1. Adanya *kesepakatan/kata sepakat*; 2. Adanya kecakapan para pihak; 3. Adanya hal/objek tertentu; dan 4. Adanya *kausa yang halal.*
Dikatakan adanya kesepakatan/kata sepakat jika tidak mengandung unsur *paksaan*, kakhilafan, penipuan dan *penyalahgunaan keadaan* (misbruik van omsteigheden). Jika terdapat unsur ini maka perjanjian tersebut akibat hukumnya DAPAT DIBATALKAN.
Dan dikatakan adanya kausa yang halal jika *tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undangĀ²*. Jika terdapat pelanggaran unsur ini maka perjanjian tersebut akibat hukumnya BATAL DEMI HUKUM.
Kebijakan Tapera yang menentukan agar buruh wajib menabung, adalah kebijakan sepihak yang *tidak ada kesepakatan* dari buruh sebagai konsumen, *dibawah tekanan* atau *paksaan* dan *penyalahgunaan keadaan*, serta cenderung *tidak ada itikad baik*, hal ini dianggap melanggar unsur subyektif dimana akibat hukumnya dapat dibatalkan, dan sekaligus melanggar unsur objektif atau melanggar kausa halal, undang – undang, kebiasaan dan kepatutan berakibat batal demi hukum karena mengandung cacat kehendak (syarat sahnya perjanjian).
Melihat ketentuan tersebut, kebijakan Tapera itu juga dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum/undang-undang. Dan salah satu undangĀ² yang terkait unsur kausa halal yang berlaku di negara kita adalah UU No.8/1999 ttg Perlindungan Konsumen (UUPK). Penjelasan Umum UUPK menyebutkan bahwa UUPK adalah payung hukum (uu pokok/umbrella act) dalam melindungi konsumen Indonesia dimana salah satu tujuan uu ini adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan konsumen. Untuk itu menurut ketentuan Pasal 23 dan 45 UUPK, konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke *pengadilan* atau *BPSK*.
Penyelenggaraan Pemerintahan sendiri, telah diatur dengan sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU 30 Tahun 2014). UU ini menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada warga masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, warga masyarakat tidak boleh dijadikan objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Dalam kebijakan Tapera ini selain pemerintah telah melangkahi konstitusi (inkonstitusional), juga telah terjadi ‘penyalahgunaan keadaan’ yang dilakukan oleh pemerintah atas posisi buruh/pekerja sebagai rakyat/konsumen yang kedudukannya lemah dan seringkali tidak ada pilihan lain dalam menggunakan fasilitas publik dan sekaligus hal ini sebagai ‘penyalahgunaan wewenang’.
Sebenarnya dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap warga masyarakat maka UU No.30/2014 memungkinkan diajukannya gugatan terhadap kebijakan Tapera ini kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau diajukan permohonan Pembatalan atas PP No. 21 Tahun 2024 ke Mahkamah Agung.
Dengan kata lain, diajukannya gugatan ke PTUN atau ke MA (juga ke pengadilan atau BPSK) ditujukan agar masyarakat (pekerja) tidak menjadi objek kekuasaan negara dan keputusan pemerintahan tidak dilakukan dengan cara-cara otoriter, arogan dan sewenang-wenang. Dengan dipaksakannya kebijakan ini semoga tidak ada warga masyarakat (pekerja) yang jadi kurban atau dikurbankan. Selamat hari raya Idul Adha (Idul kurban) 1445 H. Mohon Maaf Lahir dan Bathin. (***)